Dalam hati aku tertawa ketika keponakanku yang Kelas 2 SD dengan bekal Iqro 3 'engkel-engkelan' (berdiskusi yang nggak mau ngalah satu sama lain) dengan keponakan juga yang masih Kelas 1 SD yang ngaji-nya masih Iqro 2. Topiknya tentang siapa yang pertama bikin 'buras' (makanan bugis yang seperti lontong-lah) dikampung sini. Biasanya mereka rame-rame bikin buras ketika Hari besar seperti Menjelang Idul fitri atau Idul Qurban. Buras adalah makanan favorit bagi masyarakat Bugis Pattinjo (suku istri-ku), dimasak dengan waktu kurang lebih 5-6 Jam.
Dari 'eyel-eyelan' siapa yang pertama bikin buras. Pertama bilang ini itu, sampai akhirnya si-keponakan tadi merasa kepepet sehingga mengeluarkan jurus pamungkasnya yang tentu saja bikin aku ketawa, dengan nggak mau ngalah dia bilang, "yang bikin buras pertama ya Allah-lah". Si-keponakan satunya terdiam nggak bisa ngomong, maklum yang mereka tahu segala sesuatu yang nomer satu adalah Allah. Mereka makan mentah-mentah hasil ngajinya tersebut, karena Allah itu Maha Satu, Maha Kuasa, Maha Kuat, dan Maha-Maha yang lain, mereka menganggap Dia-lah yang nomer satu dari segala kompetisi.
Dari situ aku nyeletuk, "emangnya Allah itu buat buras juga tah?"
keponakan-ku diam sambil mikir lalu aku lanjutkan, "Allah itu nggak perlu buras, karena dia nggak lapar, nggak perlu ini itu karena dia tidak bergantung pada sesuatu, dia tidak seperti Manusia".
Keponakanku bertanya lagi, "Lha, Allah itu seperti apa?"
"Allah itu tidak bisa di seperti-kan, tidak ada yang mirip atau hampir sama seperti apapun", jawabku.
Allah, itu Maha Esa. Tidak ada satupun didunia ini yang mirip dengannya baik sifat, wujud, atau apapun. Namun Allah itu ada.
Wujud Allah tidak seperti Roh atau Ruh yang suci, karena pada dasarnya manusia terdiri dari Roh dan Jasad. Allah itu bukan zat, karena zat itu materi atau material seperti padat, gas, atau cairan, tidak-tidak seperti itu. Umat Islam lebih mendekatkan penyebutan wujud Allah dengan Dzat bukan zat. Allah tidak juga seperti Malaikat, atau Jin yang mata telanjang kita tidak bisa juga melihatnya. Jadi, kalau Allah disamakan dengan sekedar wujud yang disamakan mirip manusia, mungkin adalah pemikiran yang masih kekanak-kanakan mirip keponakanku itu. Pikiran kita tidak bisa menjangkau kesana. Ada keterbatasan pemikiran kita, sama seperti keterbatasan kita memikirkan salah satu ilmu-Nya di Matematika seperti 1:3, apa ada yang bisa membaginya dengan adil? Tentu tidak bisa, Komputer saja buatan tercanggih manusia ada keterbatasan menghitung ciptaannya tersebut, dia pasti menganggap dengan 0,3333333 dst. Bahkan, akan nyerah dengan dibatasi dan sepakat diambil 0,34 saja sudah benar. Dihitung 2 angka dibelakang koma sudah benar. Padahal, dalam ilmu pressisi pembulatan dalam proses tertentu menyebabkan offset, toleransi dari kondisi ideal atau kondisi sebenarnya. Allah Maha Kuasa, bisa menghitung seperti itu. Jadi jangan sampai me-manusia-kan Tuhan, membuat wujud Manusia untuk disembah seperti Tuhan.
Allah tidak akan menjelma menjadi sesuatu atau sosok untuk sesuatu hal misalnya menyebarkan ajaran-Nya atau 'hanya' untuk menebus dosa umat-Nya. Menyebarkan ajaran-Nya adalah 'hanya' Tugas Nabi. Menebus dosa manusia? Masak sampai sekonyol itu? Dosa khan penilaian buruk Tuhan pada perbuatan buruk manusia, Penilaian baiknya disebut Amal. Jadi kalau nilainya dihapus khan selesai dengan sendirinya, hak prerogratif Dia. Tidak perlu mengikuti protokoler, tidak harus menjelma, tidak harus Dia disiksa, baru dosa dihapus. Tidak seperti itu. Dia tidak tergantung pada Aturan, protokoler, Hukum, atau apapun juga. Sesuka-suka Dia, semau-mau Dia. Karena, dia adalah sumber segalanya. Hukum yang ada adalah hukum-Nya.
Dia tidak terikat waktu, karena waktu adalah ciptaan-Nya. Dia diluar lingkaran Waktu. Ada pendapat waktu atau masa adalah ciptaan-Nya yang pertama. Dia bisa masuk ke Masa apapun juga. Mungkin kalau sebagai gambaran sederhana yang masih dalam jangkauan kita adalah ketika kita memutar film di-VCD atau DVD. Kita bisa langsung lihat dari detik, menit sesuka kita. Karena kita tidak ikut dalam adegan tersebut. Atau sebagai gambaran kita main game The Sims, mungkin seperti itu pendekatannya. Dia tidak tergantung waktu, malah waktu yang bergantung pada-Nya.
Kejadian seperti ini sebenarnya juga terjadi pada periode Nabi, dimana diriwayatkan bahwa beberapa orang meminta gambaran Allah pada Nabi, kemudian Allah menurunkan surat al ikhlas sebagai jawaban. Inti dari surat ikhlas sifat-sifat Allah, dimana Allah itu Esa (Al-Ikhlas [112]:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya ( Al-Ikhlas [112]:2), tidak beranak dan diperanakkan ( Al-Ikhlas [112]:3), dan tidak ada yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4).
Allaahu ismun li dzaatil wajibul wujuud artinya : Allah itu adalah sebuah nama kepada yang pasti ada keberadaannya (eksistensi).
Dalam teori etimologi, kata Allah tersusun dari al (sang) dan ilah (Tuhan), jadi al-ilah adalah sang Tuhan, sebagai penyusun kata 'Allah', namun hal ini bertentangan dengan kaidah tata bahasa arab. Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap kata benda atau kata sifat umum yang mempunyai bentuk dua dan jamak, maka isim ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk dua dan jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk dua dan jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.
Pemahaman tentang gambaran tentang Allah harus hati-hati, didasarkan pada ke-Esa-an dan sifat-Nya. Karena, ada keterbatasan pemikiran manusia tentang wujud-Nya. Tidak ada benda, makhluk, atau apapun yang dapat menggambarkan atau menyerupai-Nya. Pemikiran yang tidak pada tempatnya akan memunculkan sikap me-manusia-kan Tuhan, sehingga muncul paham-paham sifat Tuhan yang mirip makhluknya. Seperti, Tuhan digambarkan sebagai Roh yang suci, Tuhan yang dilambangkan dengan benda, Tuhan yang beranak-pinak, Tuhan yang takut godaan setan, Tuhan yang butuh makan. Gambaran seperti ini adalah gambaran manusiawi bukan gambaran ilahi. Hanya sekian ilmu saya, masih perlu ngaji yang mendalam lagi. Yang jelas, Allah adalah nama akan sesuatu yang pasti adanya. Ashadualailah ha ilallah, wa ashaduanna Muhammadurrasullah. Allahu akbar.
Dari 'eyel-eyelan' siapa yang pertama bikin buras. Pertama bilang ini itu, sampai akhirnya si-keponakan tadi merasa kepepet sehingga mengeluarkan jurus pamungkasnya yang tentu saja bikin aku ketawa, dengan nggak mau ngalah dia bilang, "yang bikin buras pertama ya Allah-lah". Si-keponakan satunya terdiam nggak bisa ngomong, maklum yang mereka tahu segala sesuatu yang nomer satu adalah Allah. Mereka makan mentah-mentah hasil ngajinya tersebut, karena Allah itu Maha Satu, Maha Kuasa, Maha Kuat, dan Maha-Maha yang lain, mereka menganggap Dia-lah yang nomer satu dari segala kompetisi.
Dari situ aku nyeletuk, "emangnya Allah itu buat buras juga tah?"
keponakan-ku diam sambil mikir lalu aku lanjutkan, "Allah itu nggak perlu buras, karena dia nggak lapar, nggak perlu ini itu karena dia tidak bergantung pada sesuatu, dia tidak seperti Manusia".
Keponakanku bertanya lagi, "Lha, Allah itu seperti apa?"
"Allah itu tidak bisa di seperti-kan, tidak ada yang mirip atau hampir sama seperti apapun", jawabku.
Allah, itu Maha Esa. Tidak ada satupun didunia ini yang mirip dengannya baik sifat, wujud, atau apapun. Namun Allah itu ada.
Wujud Allah tidak seperti Roh atau Ruh yang suci, karena pada dasarnya manusia terdiri dari Roh dan Jasad. Allah itu bukan zat, karena zat itu materi atau material seperti padat, gas, atau cairan, tidak-tidak seperti itu. Umat Islam lebih mendekatkan penyebutan wujud Allah dengan Dzat bukan zat. Allah tidak juga seperti Malaikat, atau Jin yang mata telanjang kita tidak bisa juga melihatnya. Jadi, kalau Allah disamakan dengan sekedar wujud yang disamakan mirip manusia, mungkin adalah pemikiran yang masih kekanak-kanakan mirip keponakanku itu. Pikiran kita tidak bisa menjangkau kesana. Ada keterbatasan pemikiran kita, sama seperti keterbatasan kita memikirkan salah satu ilmu-Nya di Matematika seperti 1:3, apa ada yang bisa membaginya dengan adil? Tentu tidak bisa, Komputer saja buatan tercanggih manusia ada keterbatasan menghitung ciptaannya tersebut, dia pasti menganggap dengan 0,3333333 dst. Bahkan, akan nyerah dengan dibatasi dan sepakat diambil 0,34 saja sudah benar. Dihitung 2 angka dibelakang koma sudah benar. Padahal, dalam ilmu pressisi pembulatan dalam proses tertentu menyebabkan offset, toleransi dari kondisi ideal atau kondisi sebenarnya. Allah Maha Kuasa, bisa menghitung seperti itu. Jadi jangan sampai me-manusia-kan Tuhan, membuat wujud Manusia untuk disembah seperti Tuhan.
Allah tidak akan menjelma menjadi sesuatu atau sosok untuk sesuatu hal misalnya menyebarkan ajaran-Nya atau 'hanya' untuk menebus dosa umat-Nya. Menyebarkan ajaran-Nya adalah 'hanya' Tugas Nabi. Menebus dosa manusia? Masak sampai sekonyol itu? Dosa khan penilaian buruk Tuhan pada perbuatan buruk manusia, Penilaian baiknya disebut Amal. Jadi kalau nilainya dihapus khan selesai dengan sendirinya, hak prerogratif Dia. Tidak perlu mengikuti protokoler, tidak harus menjelma, tidak harus Dia disiksa, baru dosa dihapus. Tidak seperti itu. Dia tidak tergantung pada Aturan, protokoler, Hukum, atau apapun juga. Sesuka-suka Dia, semau-mau Dia. Karena, dia adalah sumber segalanya. Hukum yang ada adalah hukum-Nya.
Dia tidak terikat waktu, karena waktu adalah ciptaan-Nya. Dia diluar lingkaran Waktu. Ada pendapat waktu atau masa adalah ciptaan-Nya yang pertama. Dia bisa masuk ke Masa apapun juga. Mungkin kalau sebagai gambaran sederhana yang masih dalam jangkauan kita adalah ketika kita memutar film di-VCD atau DVD. Kita bisa langsung lihat dari detik, menit sesuka kita. Karena kita tidak ikut dalam adegan tersebut. Atau sebagai gambaran kita main game The Sims, mungkin seperti itu pendekatannya. Dia tidak tergantung waktu, malah waktu yang bergantung pada-Nya.
Kejadian seperti ini sebenarnya juga terjadi pada periode Nabi, dimana diriwayatkan bahwa beberapa orang meminta gambaran Allah pada Nabi, kemudian Allah menurunkan surat al ikhlas sebagai jawaban. Inti dari surat ikhlas sifat-sifat Allah, dimana Allah itu Esa (Al-Ikhlas [112]:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya ( Al-Ikhlas [112]:2), tidak beranak dan diperanakkan ( Al-Ikhlas [112]:3), dan tidak ada yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4).
Allaahu ismun li dzaatil wajibul wujuud artinya : Allah itu adalah sebuah nama kepada yang pasti ada keberadaannya (eksistensi).
Dalam teori etimologi, kata Allah tersusun dari al (sang) dan ilah (Tuhan), jadi al-ilah adalah sang Tuhan, sebagai penyusun kata 'Allah', namun hal ini bertentangan dengan kaidah tata bahasa arab. Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap kata benda atau kata sifat umum yang mempunyai bentuk dua dan jamak, maka isim ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk dua dan jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk dua dan jamak. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.
Pemahaman tentang gambaran tentang Allah harus hati-hati, didasarkan pada ke-Esa-an dan sifat-Nya. Karena, ada keterbatasan pemikiran manusia tentang wujud-Nya. Tidak ada benda, makhluk, atau apapun yang dapat menggambarkan atau menyerupai-Nya. Pemikiran yang tidak pada tempatnya akan memunculkan sikap me-manusia-kan Tuhan, sehingga muncul paham-paham sifat Tuhan yang mirip makhluknya. Seperti, Tuhan digambarkan sebagai Roh yang suci, Tuhan yang dilambangkan dengan benda, Tuhan yang beranak-pinak, Tuhan yang takut godaan setan, Tuhan yang butuh makan. Gambaran seperti ini adalah gambaran manusiawi bukan gambaran ilahi. Hanya sekian ilmu saya, masih perlu ngaji yang mendalam lagi. Yang jelas, Allah adalah nama akan sesuatu yang pasti adanya. Ashadualailah ha ilallah, wa ashaduanna Muhammadurrasullah. Allahu akbar.
Komentar
Posting Komentar